Minggu, 27 Mei 2012

Model Pembelajaran Di Sekolah

Kurikulum dan Metode Pembelajaran Pendidikan di Indonesia

Kognitif, Afektif, PsikomorikOrang-orang di negeri ini, yang beruntung bisa mengenyam pendidikan, pastilah mengetahui bagaimana kurikulum pendidikan sekolah-sekolah kita. Dalam dasawarsa (sepuluh tahun) terakhir, banyak perubahan baru, atau bahkan hal baru, terutama pasca Reformasi. Sejak saya lulus SD (2001), kemudian lulus SMP (2004), sampai akhirnya lulus SMA (2007) dan sekarang jadi mahasiswa di UGM, saya sudah banyak mengalami berbagai macam kurikulum dan berarti saya adalah pelaku dan ‘produk’ dari semua itu.
Ada yang namanya kurikulum tahun 1994, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan), serta untuk metode pembelajarannya, ada SCL (Student Center Learning), dan segera katanya akan ada STARS (Student, Teacher, Aestetic, Rulers Sharing). Semua punya tujuan sama: agar kualitas pendidikan di Indonesia meningkat, baik aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Yah, yang saya tegaskan di sini adalah: saya bukan guru, bukan pula dosen, yang tahu secara langsung positif/negatifnya kurikulum yang berubah-ubah itu. Yang bisa saya rasakan adalah metode pembelajarannya.
Hari-hari baru kuliah saya di UGM banyak hal yang menarik. Betapa sejak awal upacara penerimaan mahasiswa baru, di universitas, di fakultas, kami diterangkan banyak hal tentang metode pembelajaran yang ada di UGM saat ini. Bahkan sampai hari-hari awal kuliah (perkenalan dosen, bahkan jam kosong), dosen-dosen kembali menerangkan metode-metode pembelajaran itu.
Intinya hanya satu: agar siswa/mahasiswa aktif dalam KBM; mahasiswa aktif mencari tahu ilmu pengetahuan; dan dosen hanya sebagai pembimbing.
Untuk saat ini, mungkin itu masih berupa mimpi-mimpi. Ironis sekali, dosen menjelaskan ini itu ini itu, ealah, yo caranya saja masih dosen oriented. Dosen ngomong panjang lebar tentang SCL tad, tapi mahasiswa cuma didiamkan saja, suruh mendengarkan thok, dan jelas, mahasiswa terkantuk-kantuk! Sampai saat ini pun, saya masih kuliah dengan metode yang tidak jauh berbeda dengan SMA, hanya saja fasilitasnya lebih lengkap.
Mungkin memang SDM pengajarnya yang masih kurang siap. Untuk materi, alhamdulillah sudah cukup lengkap, namun cara penyampaiannya itu lho, masih sama saja. Yah, tapi untuk pengajar yang masih muda, beberapa sudah cukup baik dalam mengajarnya. Lumayan lah.
Belum lagi masalah kurikulum pelajar sekolah yang digonta-ganti namanya (padahal isinya juga sama saja!). Justru malah membingungkan siswanya sendiri. Alah, paling hanya akal-akalan pejabat disana untuk jadi proyek-proyek! dan ujung-ujungnya adalah uang proyek!

Sekolah bertaraf Internasional?

Ini lebih membingungkan lagi. Mungkin terjebak istilah-istilah ‘keren’. Saya sekolah di SMA 1 Jogja, yang mana angkatan saya adalah angkatan pertama kelas bertaraf Internasional. Bahkan sampai mendapat sertifikasi IGCSE dari Cambridge. Yah, sungguh peningkatan yang sangat baik. Tapi itupun perlu dievaluasi kembali, apakah tujuan dari bertaraf internasional tadi? sekedar mengejar kurikulum? mengejar standar fasilitas? atau hanya mencari sertifikat? Perlu diketahui, bahwa angkatan pertama tersebut, yang kini di luar negeri, hanya 7-9 orang, dari sekitar 30-an siswa kelas Internasional. Yang lain, akhirnya sekolah di lokal-lokal juga, tetap jadi mahasiswa lokal.
Kenapa harus pakai kurikulum pendidikan bangsa lain (dalam hal ini Inggris/Amerika)? itulah yang perlu dipertanyakan. Padahal kurikulum nasional saja sudah cukup lengkap dan baik. Ini namanya juga penjajahan! Bagaimana nasib bangsa Indonesia, bahkan pendidikannya pun dijajah? Pendidikan ala barat sedikit-sedikit akan masuk ke otak pelajar bangsa ini! Apa kata dunia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar